top of page

A Long Journey for Holistic Healing

Aswil Nazir

30 Sep 2023

Berawal dari diskusi singkat dengan seorang teman dokter di WA Group dua hari yang lalu mengenai sumber penyakit TBC, apakah infeksi atau emosi, saya tergerak untuk menceritakan kisah perjuangan saya mencari kesembuhan selama 10 tahun terakhir ini.

Pemahaman kedokteran barat dan timur sejak awal memang berbeda. Kalau kedokteran barat menyebut bahwa sumber penyakit itu berasal dari luar (external), pemahaman kedokteran timur menyebut sumbernya kebanyakan dari dalam diri (internal). Perbedaan prinsip itu seyogyanya tidak harus dijadikan dikotomi. Belakangan ini kita bisa melihat bahwa kedokteran barat sudah mulai melirik pengobatan timur yang disebut pengobatan alternatif. Pakar kesehatan barat sudah belajar akupuntur, energi healing dan herbal misalnya. Mereka juga mulai menyadari bahwa kebanyakan penyakit berasal dari dalam diri, yaitu EMOSI.

Saya pernah mengalami musibah di dalam lift yang terjadi pada Januari 2013. Lift kantor yang saya gunakan merosot lepas dari lantai 36 ke lantai 27 (9 lantai) di kawasan Casablanca Jakarta Pusat. Untungnya tidak ada fraktur, tetapi kejadian ini dianggap ajaib oleh dokter yang merawat saya di Eka Hospital BSD. Pasca kejadian tersebut, kehidupan saya berubah total. Tekanan darah dengan mudah naik menjadi 200/100 kalau diajak berpikir, terlebih lagi kalau ada masalah. Saya sempat keluar masuk rumah sakit karena keluhan hipertensi ini. Disamping itu dokter juga mendeteksi adanya pembengkakan jantung, asam lambung tinggi, maag, kecemasan, phobia di keramaian (termasuk phobia di ketinggian). Tetapi masalah hipertensi dan asam lambung tidak kunjung hilang. Akhirnya saya mulai melirik kepada pengobatan alternatif. Biasa tokh, namanya juga ikhtiar. Oh ya, selain pengobatan dokter, saya juga menjalani terapi fisioterapi, psikolog dan bahkan psikiater. Berbagai jenis terapi alternatif seperti akupuntur, pijat shiatsu, chikung, herbal, chiropractic, bekam, pijat dan aneka totok (termasuk syaraf, energi), bahkan ruqiyah pun saya jalani.Ditengah upaya untuk mencari kesembuhan, musibah lain pun datang. Istri saya yang divonis dokter menderita kanker payudara stadium 4, dipanggil kehadiratNya di bulan Oktober 2015. Ibarat jatuh tertimpa tangga, masalah kesehatan saya semakin tidak jelas kondisinya. Emosi traumatik akibat tragedi lift kini ditambah pula dengan kepiluan ditinggal istri yang selama ini selalu setia menemani setiap kali berobat. Rasa kesendirian dan kecemasan akan masa depan telah membuat masalah di lambung saya semakin parah. Berbagai jenis obat maag dan asam lambung saya coba satu persatu. Sebut saja, Sanmag, Polysilane, Mylanta, Polycrol, Omeprazole hingga Nexium saya konsumsi, sebagian itu atas anjuran dokter. Yang lebih serius adalah soal tekanan darah. Belakangan tensi saya naik lagi di atas normal. Padahal saya sudah mengkonsumsi 3 jenis obat hipertensi dengan dosis tinggi setiap hari selama 9 tahun lebih (amlodipine 10mg, bisoprolol 5mg, candesartan 16mg). Namun sepertinya tidak efektif lagi karena di akhir 2021 tensi saya kembali bertahan pada angka 150-160/90 walau dalam keadaan minum obat. Dokter ahli hipertensi mulai bingung mencari solusi. Dia cuma berkomentar, apa sih yang bapak pikirkan? Dalam hati saya hanya membatin, kalau saya bisa mengatasinya sendiri, buat apa saya buang-buang duit ke dokter? Maklum di kala itu belum ada BPJS dan asuransi kesehatan saya hanya untuk rawat inap.Dalam kondisi nyaris putus asa, saya mencoba berobat ke dokter penyakit dalam yang juga konsultan psikosomatik. Beliau ini sejak awal menerangkan bahwa solusi yang bisa diberikannya adalah terapi obat. Apakah bapak mau? Saya tidak punya pilihan lain sehingga saya jawab, “ya dok”. Dikasihlah racikan obat yang saya tidak terlalu perhatikan jenis obatnya. Memang betul, setelah mengkonsumsi obat itu tensi saya bisa normal kembali, tetapi otak menjadi malas berpikir dan malas beraktifitas. Di bulan kelima ketika saya ceritakan tentang pengobatan ini ke teman dokter senior, beliau berpesan, “hati-hati kalau minum obat antidepresan. Jangan kelamaan.”Saya mulai was-was dan mencoba googling untuk mencari tahu jenis obat apa yang diberikan oleh dokter psikosomatik. Rupanya itu campuran obat hipertensi plus obat yang namanya Dogmatil. Pas dibaca di google, saya kaget. Wah, ini rupanya obat untuk penderita schizophrenia (orang sakit jiwa). Langsung saya berhenti meminumnya walau dengan risiko tensi akan naik lagi.


Rasa putus asa kembali melanda karena masalah tekanan darah tinggi seperti tidak ada jalan keluarnya. Walaupun dokter menyebut bahwa minum obat hipertensi seumur hidup tidak memberikan efek samping, hati kecil saya tidak bisa menerima. Akhirnya saya berdoa memohon petunjuk Allah agar bisa lepas dari masalah kesehatan menahun ini. Sejujurnya, inilah sebetulnya kesalahan utama saya. Saya baru ingat Allah setelah upaya yang mengandalkan kemampuan diri sendiri tidak membuahkan hasil yang diharapkan.

Sekitar awal Oktober 2022, petunjuk itu datang dari arah yang tidak diduga. Suatu ketika saya membaca flyer/brosur tentang ceramah tentang pengobatan yag disebut QTEH (quantum trauma and emotional healing) di Masjid Raya Bintaro. Di brosur itu juga disebutkan akan ada testimoni dari dokter ahli penyakit dalam. Saya menjadi tergerak karena disebutkan bahwa terapinya tidak menggunakan obat, tanpa pijat dan tanpa klenik. Tapi ada satu hal yang membuat saya penasaran ketika membaca flyer itu. Disitu dipajang foto dan nama narasumbernya. Wajah itu serasa familiar buat saya. Saya coba ingat-ingat, apakah mungkin orang yang kenal. Tapi masak iya sih? Karena wajah dan namanya di brosur itu mirip dengan adik kelas saya, Widodo di jurusan elektro UI. Tapi masa iya sih, alumni elektro menjadi terapis kesehatan? Setahu saya dulu beliau ini system programmer mainframe di Bank Niaga dan kemudian pindah ke Bursa Efek Jakarta. Karena penasaran, saya berusaha untuk mencari tahu nomor kontaknya dan alhamdulillah akhirnya berhasil. Ngga sabar, saya langsung kontak via WA dan jawabannya sangat melegakan. Tebakan saya benar. Maka dibuatlah janji untuk bertemu di rumahnya di desa Cibuntu, Cimelati, Jawa Barat.


Pertemuan inilah yang saya katakan sebagai titik awal dari perbaikan masalah kesehatan yang tidak terselesaikan hampir 10 tahun lamanya. Disitu saya memperoleh pemahaman yang sama sekali baru bagi saya. Yaitu pemahaman bahwa penyakit dan keluhan itu sesungguhnya berasal dari kita sendiri, yaitu emosi traumatik yang terpendam di dalam diri tanpa kita sadari. Ketika dijelaskan bahwa lebih dari 90% penyebab penyakit berasal dari emosi negatif, saya awalnya tidak terlalu percaya. Tapi setelah melihat pembuktiannya (maklum anak elektro selalu butuh bukti, evidence) saya baru percaya dan yakin akan konsep ini.


ree
3 akar masalah menurut pemahaman QTEH

3 akar masalah menurut pemahaman QTEH

Singkat cerita, dari dua kali pertemuan, secara bertahap keluhan hipertensi, jantung, kekentalan darah, anxiety, asam urat, kolesterol, maag, asam lambung tinggi saya mulai teratasi dengan cara membuang emosi traumatiknya. Sambil tertawa saya diledekin, “kok bang Aswil ini senang mengumpulkan penyakit?” Disitu saya memperoleh pembelajaran bahwa sesungguhnya kita sendiri (tentunya kalau paham caranya) bisa menyembuhkan diri sendiri tanpa obat.

Dalam pemahaman QTEH yang sejalan dengan prinsip pengobatan timur, diyakini bahwa penyebab dari mayoritas penyakit adalah emosi (lebih dari 90%). Hanya sekitar 5% penyebabnya faktor fisik seperti luka, patah tulang, terkena bisa ular, tabrakan. Itupun nanti ada faktor emosinya yang akan berperan dalam menentukan lama waktu penyembuhannya. Ada lagi 5% masalah yang disebabkan faktor spiritual (misalnya guna-guna, nazhar yang belum ditunaikan, pengaruh amalan tertentu, ilmu turunan dari leluhur).


Pemahaman QTEH yang juga menarik adalah bahwa MASALAH = masih ada yang salah. Memang sepertinya ini hanya permainan kata-kata atau katakanah semacam plesetan. Tapi setelah direnungkan secara mendalam, itu memang benar. Masalah itu adalah teguran dari kasih sayang dari Yang Maha Kuasa (Allah, dalam agama Islam), karena kita (si makhluk) telah berperilaku melenceng dari petunjukNya (jalan yang lurus). Dan disebutkan bahwa masalah (penyakit) kesehatan adalah teguran tahap ke-3. Jadi kita tidak ujug-ujug sakit, tapi akan melalui tahapan pertama (masalah rasa hati) dan kedua (masalah sosial).

ree

Nah, kalau dikaitkan dengan pemahaman ketuhanan yang universal, sesungguhnya EMOSI itu adalah rasa hati yang diberikan Tuhan YME, sebagai respon balik atas perilaku yang baru saja dilakukan. Menurut QTEH, emosi adalah bentuk komunikasi Tuhan YME kepada manusia, agar manusia dapat mengetahui apakah perilakunya dalam melaksakan sebuah peran sudah sesuai menurut penilaian Tuhan YME sebagai pemberi tugas (kebanyakan manusia khilaf, karena perilakunya mengacu pada kriteria penilaian dirinya atau manusia lain, padahal pada akhirnya akan dinilai juga oleh Tuhan YME sebagai pemberi tugas sesungguhnya). Sehingga jika perilaku kita sudah sesuai dengan kriteria Tuhan YME, maka akan direspon balik dengan “Emosi Postitif”, sedang kebalikannya jika tidak sesuai maka akan direspon balik dengan “Emosi Negatif”.


Salah satu rujukan yang cukup kredibel mengenai emosi, adalah buku best seller “Emotion Code” dari Dr. Bradley Nelson. Di buku tersebut ada banyak contoh mengenai penyakit yang ternyata berasal dari emosi traumatik. Apa yang dijelaskan dalam buku itu sangat sejalan dengan prinsip dari QTEH.

Mari kita kembali membahas soal infeksi. Menurut Louise L. Hay yang terkenal dengan bukunya “You Can Heal Your Life”, penyebab infeksi adalah “perasaan marah dan terganggu oleh sesuatu atau seseorang.” Ini kan semacam bentuk emosi juga. Infeksi menurut pemahaman yang umum berasal dari bakteri. Ya itu betul, akan tetapi kalau tingkat imun seseorang itu kuat, bakteri atau virus bisa ditangkal. Banyak terapis kesehatan yang menyebut betapa pentingnya imunitas seseorang agar terhindar dari banyak penyakit, mulai dari pilek, flu, bahkan covid sekalipun. Imun itu ternyata dalam pemahaman emotional healing sangat berkaitan dengan emosi seseorang, disamping juga tergantung kepada kondisi fisik. Tingkat imun seseorang bisa merosot drastis jika muncul rasa/emosi panik. Dan imun yang rendah tentu saja tidak mampu berperang melawan serangan bakteri dan virus. Berikutnya diafragma bisa bermasalah sehingga pasokan oksigen ke paru-paru akan terganggu. Ujung-ujungnya saturasi oksigen akan turun. Mungkin ini merupakan jawaban kenapa pasien covid-19 yang dibawa ke rumah sakit lebih banyak yang meninggal dibandingkan dengan mereka yang memilih isolasi mandiri di rumah. Kemampuan untuk mengatasi emosi panik adalah kuncinya.Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seseorang yang emosinya bagus (positif), insya Allah akan terhindar dari berbagai penyakit. Kenapa? Dari diagram diatas terlihat bahwa penyakit (masalah kesehatan) adalah teguran ke-3 dari Allah. Artinya, ketika Dia memberikan teguran pertama (masalah rasa hati) diabaikan, dan teguran kedua (masalah kehidupan sosial) juga dicuekin, maka diberikanlah teguran ke-3 (masalah kesehatan). Jadi masalah kesehatan adalah teguran terakhir. Kalau masih juga tidak tobat bagaimana? Ya mohon maaf…. kontraknya diputus, istilah lainnya GAME OVER. Logis tokh?


Dalam konteks penyakit ini Rasulullah pernah bersabda: Telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma’ruf dan Abu Ath Thahir serta Ahmad bin ‘Isa mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb; Telah mengabarkan kepadaku ‘Amru, yaitu Ibnu al-Harits dari ‘Abdu Rabbih bin Sa’id dari Abu Az Zubair dari Jabir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah ‘azza wajalla. (HR Muslim)

Tubuh manusia itu sangat cerdas, ibarat superkomputer. Dia bisa menyembuhkan diri sendiri kalau kita tahu caranya. Jadi jangan buru-buru bilang bahwa itu faktor klenik.Terapis herbal saya di Bandung memiliki kemampuan untuk self healing yang luar biasa. Beliau pernah terjatuh sehingga tulang rusuknya berantakan, bukan cuma patah satu atau dua bagian. Dibawa ke RS Boromeus Bandung, dokter angkat tangan karena tidak mungkin menyatukan tulang2 rusuk yang patah banyak. Setelah dibiarkan di ruang rawat selama 3 hari dengan hanya diberikan pain killer, dia minta pulang. Di rumah dia berdoa dan berzikir sambil memohon kepada Allah agar bisa sembuh. Hari keempat dia berdzikir dan bermunajat, di malam hari mendadak dia merasa kesakitan hebat di bagian rusuknya dan terdengar suara “krek” yang cukup keras. Tapi abis itu dia merasakan sakitnya hilang. Dia lalu memegang bagian yang sakit, tapi sama sekali tidak ada lagi rasa sakitnya. Boleh percaya atau tidak. Tapi ibu beliau mengkonfirmasi cerita ini. Ini satu contoh saja bahwa kesembuhan itu milik Allah. Dalam konteks ini saya kira kuncinya adalah kepasrahan total (berserah) kepada Allah.


Saya ingin mundur sedikit. Sesungguhnya saya sudah pernah diingatkan oleh seorang arif di bilangan Cinere yang dipanggil dengan Baba oleh para pengikut yang menghormatinya. Saya mengunjungi beliau di tahun 2014 untuk berobat. Tapi beliau tidak memberikan obat apa-apa. Beliau hanya berkomentar pendek, “kemana pun bapak pergi berobat, bapak tidak akan bisa sembuh. Yang bisa menyembuhkan bapak adalah diri bapak sendiri.” Komentar itu membuat saya merasa kecewa. Itu bukan jawaban yang saya butuhkan. Saya datang kesana untuk memperoleh kesembuhan.

Namun upaya saya untuk sembuh tidak pernah surut, walaupun putra saya pernah berkomentar, “Papa ini senang sekali mencari pengobatan alternatif. Kemana pun akan dikejar.” Ya betul juga sih, sejak tahun 2013 hingga 2021 mungkin ada sekitar 20 terapis alternatif yang saya datangi, baik di Jakarta, Jawa dan Sumatera.

Misalnya di tahun 2016 saya mendatangi Banyuwangi untuk berobat dengan seorang kiai kondang di daerah tersebut, ada teman yang mengenalkan. Saya bahkan nginap di rumah beliau. Disitu saya dinasihati dengan petuah-petuah agama setelah ditegur dengan satu kalimat yang sangat menohok. “Bapak ini saya lihat terlalu mengandalkan kemampuan diri. Dan kalau sakit, di kepala bapak yang terpikirkan adalah mencari dokter terbaik, mencari terapis terbaik. Bapak lupa kepada Sang Pemberi Penyakit, yaitu Allah. Baru setelah semua usaha itu gagal, bapak ingat sama Allah.”  Saya hanya bisa termangu dan menyesali diri. Tapi beliau menghibur dengan berkata, “Insya Allah kalau bapak bersungguh-sungguh tobat, petunjuk itu akan datang.”Kini terbukti kebenaran janji Allah yang bunyinya “mintalah kepadaKu, niscaya akan Kukabulkan.” Ya, petunjuk itu datang setelah saya berkutat nyaris 10 tahun mencari kesembuhan dengan cara yang salah, yaitu tanpa melibatkan Dia.


Setelah saya diperkenalkan dengan konsep QTEH dan diberikan pemahaman tentang keimanan serta pengaruh emosi terhadap masalah dalam diri, kehidupan sosial dan kesehatan, mata saya mulai terbuka. Betapa selama ini saya sudah banyak melakukan kesalahan dalam berperilaku sehingga akhirnya ditegur oleh Allah. Ya, penyakit itu rupanya teguran Allah karena melanggar perintahnya, itu bukanlah ujian. Ini yang juga banyak disalahpahami banyak diantara kita.

Pertemuan saya dengan Widodo di kediamannya di bulan Oktober 2022 tidak akan saya lupakan. Itu adalah momen titik balik di diri saya menuju kehidupan yang lebih baik agar menjadi insan yang rahmatan lil alamin. Saya akhirnya mengikuti pelatihan bulanan QTEH secara serius di bulan November 2022 dan pada pertengaham April 2023 saya diangkat sebagai terapis junior. Usia saya paling senior, tapi menjadi terapis junior, itu tidak menjadi masalah.

Alhamdulillah, sejak April 2023 saya sudah lepas dari obat2an kimiawi 100%. Kenapa saya berani melakukan hal tersebut? Jawabannya sederhana. Saya tidak lagi merasakan keluhan-keluhan seperti yang sebelumnya selalu mengganggu. Dan juga ada alat bantu (tools kinesiology – test otot) yang bisa memastikan bahwa keluhan kesehatan itu sudah hilang. Padahal selama bertahun-tahun saya boleh dikatakan rutin memanggil terapis pijat/totok ke rumah setiap minggunya. Bahkan terkadang bisa dua kali seminggu. Tapi keluhannya selalu berulang karena yang diatasi lebih kepada symptomnya, bukan root cause. Ada saja gangguan yang dirasakan kembali, dari darah tinggi, kecemasan (anxiety), asam lambung tinggi hingga maag.

Dari pergulatan panjang untuk mencari kesembuhan ini saya telah memperoleh pembelajaran yang sangat berharga.Upaya-upaya untuk memperoleh kesembuhan itu memakan waktu begitu lama karena selama ini saya hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Ada semacam kesombongan ego (arogansi diri) yang menganggap bahwa segalanya akan tercapai sesuai dengan keinginan hati tanpa melibatkan Dia sama sekali. Hanya setelah kita sadar dan sepenuhnya berserah diri (pasrah) serta meyakini dari lubuk hati yang terdalam bahwa tidak ada daya dan kekuatan, kecuali dengan izin-Nya, jalan keluar itu akan muncul.


Satu hal yang unik dari pembelajaran QTEH ini adalah bagaimana kita memperbaiki perilaku, atau istilah lainnya memperbaiki keimanan. Bahwa perilaku yang baik akan mewujudkan emosi positif karena rasa hati akan positif. Sesungguhnya emosi kita inilah yang akan menentukan apakah kita akan merasa bahagia, senang atau bermasalah. Sesederhana itu saja.


ree

Kini saya bertekad untuk mengamalkan pengetahuan dalam emotional healing ini bagi keluarga terdekat, kerabat, teman dan mereka yang membutuhkan. Saya teringat akan satu hadis Rasulllah yang berbunyi, “Fa alimun bi’ilmihi lam ya’malanna . mu’adzdazbun min qabli ‘abidil wastani” yang artinya: Seorang yang berpengetahuan tapi tidak mengamalkan ilmunya, akan di azab lebih dahulu dari pada penyembah berhala.

Ada juga syair yang berbunyi “Al-‘ilmu bighairi ‘amalin dzanbun kabirun wal’amalu bighairi ‘ilmin dlolalun sy adidun” (ilmu tanpa amal dosa besar, dan amal tanpa illmu adalah kesesatan yang nyata).


Lalu ada lagi hadis Rasulullah “Man ‘amila bima ‘alima warastahulahu ilma ma lam ya’lam” yang artinya: Siapa yang mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak pernah diketahuinya.Ketiga nasehat diatas bisa ditemui dalam buku Ilmu Ketuhanan PERMATA YANG INDAH (Ad-durrunnafis) karya Syekh M. Nafis bin Idris Al Banjarie, tahun 1200 H yang sudah saya beli di tahun 2006. Namun baru kini saya bisa memahami maknanya secara utuh.

Semoga kisah pergulatan panjang mencari kesembuhan ini ada manfaatnya bagi para pembaca, agar tidak terjebak melakukan kesalahan seperti yang telah saya lakukan.



Aamiin.


Ciputat, 1 Oktober 2023

bottom of page